Lencana

Lencana
blog,badge,budi,luhur,university

google translate

Keutamaan Menjenguk Orang Sakit

MediaMuslim.Info – Mengunjungi dan membesuk orang sakit merupakan kewajiban setiap muslim, utamanya orang yang sangat jelas hubungannya dengan dirinya, seperti kerabat dekat, tetangga, saudara senasab, sahabat dan yang semisalnya. Menjenguk orang sakit adalah di antara amal shalih yang paling utama yang dapat mendekatkan kita kepada Alloh Subhannahu wa Ta’ala, kepada ampunan, rahmat dan SorgaNya.
Mengunjungi orang sakit merupakan perbuatan mulia, di dalamnya terdapat keutamaan yang sangat agung, pahala yang sangat besar dan ia adalah salah satu hak setiap muslim terhadap muslim lainnya. (HR: Muslim).
Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Apabila seorang laki-laki menjenguk saudara muslimnya (yang sedang sakit), maka (seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan Sorga sehingga dia duduk, apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya di pagi hari maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.” (HR: At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad shahih).
Terakhir, hendaknya yang membesuk mendo’akan si sakit: “Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membersihkanmu dari dosa-dosa, Insya Alloh.” (HR: Al-Bukhari).
(sumber Rujukan: Al-Hadiqatul Yani’ah minal ‘Ulumin Nafi’ah, Syaikh Ibrahim bin Jarullah Al-Jarullah)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Diantara Waktu-Waktu Sholat

Posted on Mei 10, 2007 by shaifullah
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Salah seorang di antara kalian senantiasa (terhitung) di dalam shalat selama ia tertahan oleh shalat, tidak menghalanginya untuk kembali kepada keluarganya kecuali shalat” (HR Muslim).
Dalam hadis lain diungkapkan, “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian (terhitung) di dalam shalat selama tertahan oleh shalat sedang para malaikat mendoakan mereka: ‘Ya Allah, ampunilah dia; ya Allah rahmati dia, selama dia tidak berdiri dari tempat shalatnya atau berhadas (batal wudhunya)’”. (HR. Bukhari).
Penjelasan:
Shalat tepat waktu adalah keutamaan. Keutamaannya akan berlipat apabila shalat tepat waktu tersebut dilakukan di masjid dan berjamaah. Keutamaan ini akan berlipat lagi tatkala kita mempersiapkan diri sebelum melaksanakannya dengan menunggu sebelum azan berkumandang. Kenapa menunggu shalat menjadi sebuah keutamaan? Ada empat alasan.
Pertama, menunggu shalat adalah bukti kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya. Sebagai analogi, seseorang yang sedang dimabuk cinta akan senantiasa merindukan perjumpaan dengan yang dicintainya. Tatkala ada janji bertemu, ia akan berusaha untuk tidak terlambat. Begitu pula saat kita merindukan Allah, kita akan selalu menunggu berjumpa dengan-Nya dan akan selalu menunggu perjumpaan itu.
Kedua, menunggu waktu shalat akan membuka kesempatan bagi kita untuk melakukan banyak kebaikan lainnya, seperti membaca Alquran, i’tikaf, berzikir, membereskan tempat shalat, dan lainnya.
Ketiga, saat menunggu shalat kemungkinan bermaksiat menjadi sangat kecil minimal maksiat secara fisik.
Keempat, saat menunggu shalat kita akan berusaha menjaga kebersihan diri dan hati. Bukankah salah satu syarat sahnya shalat adalah bersih badan dan tempat shalat dari kotoran dan najis? Karena itu, Rasulullah SAW menjanjikan bahwa seseorang dikategorikan sedang shalat, tatkala ia meniatkan diri menunggu datangnya waktu shalat. Bahkan, saat itu para malaikat terus melantunkan doa agar kita dirahmati Allah SWT. Hadis ini akan lebih aplikatif dan bernilai sosial andai tenggat waktu menunggu tersebut makna dan cakupannya diperluas. Pemaknaannya tidak sekadar menunggu shalat di masjid, tapi menempatkan semua aktivitas hidup dalam kerangka menunggu datangnya waktu shalat. Hidup kita, hakikatnya, adalah perpindahan dari satu shalat ke shalat lainnya.
Alangkah indahnya bila kita mampu mengubah paradigma berpikir bahwa seluruh aktivitas hidup kita (kerja, sekolah, tidur, bermain, dsb.) adalah “aktivitas sampingan” dari shalat. Bila paradigma berpikir ini digunakan, maka “tak akan sekalipun” kita melalaikan kumandang azan, karena itulah kerja utama kita. Yang tak kalah penting, semua aktivitas kita di luar shalat insya Allah akan makin berkualitas karena dilandasi nilai mahabatullah, nilai zikir, nilai amal ma’ruf nahyi munkar, dan selalu terjaganya kebersihan diri. Boleh jadi, semua aktivitas kita akan bernilai shalat, karena kita meniatkannya sebagai aktivitas “menanti” untuk berjumpa dengan Allah SWT. Wallahu a’lam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Keutamaan Salam


Di antara akhlak terpuji yang diperintahkan Islam adalah memberi salam. Salam merupakan ungkapan yang menggambarkan bahwa antara si pemberi salam dan yang diberi salam tidak ada sengketa apa pun. Yang ada hanya perasaan cinta, persahabatan, dan persaudaraan. Ucapan salam memang kelihatannya sederhana, tapi siapa nyana di balik kesederhanaannya itu mengandung hikmah dan keutamaan yang agung. Beberapa di antara hikmah dan keutamaan salam adalah karena salam merupakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
''Rasulullah memerintahkan kami untuk melakukan tujuh perkara, yaitu menjenguk orang sakit, mengiring jenazah, mendoakan orang yang bersin yang memuji Allah, membantu orang yang lemah, menolong orang yang dizalimi, mengucapkan salam, dan memenuhi sumpah. (Muttafaq 'alaih). Salam akan menumbuhkan rasa kasih sayang. ''Kamu tidak akan masuk surga sampai kamu beriman, dan kamu tidak beriman sampai kamu saling mencintai. Maukah kamu aku tunjukkan suatu perbuatan yang bisa membuatmu saling mencintai; yaitu sebarkanlah salam di antara sesamamu.'' (HR al-Bukhari dan Muslim).
Salam juga merupakan amalan yang terbaik dalam Islam. Dari Abdullah bin Amr bin Ash, seorang laki-laki bertanya kepada Rasullah. ''Apakah amalan yang paling baik dalam Islam?'' Beliau menjawab, ''Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang telah kamu kanal dan yang belum kamu kenal.'' (HR al-Bukhari dan Muslim).
Berkah dan kebaikan dari Allah SWT akan tercurah untuk si pemberi salam. ''Maka ketika kamu masuk rumah, ucapkan salam untuk dirimu sebagai penghormatan dari Allah yang berisi berkat dan kebaikan.'' (QS An-Nur [24]: 61).
Mengucapkan salam akan menjadi amalan yang memasukkan pelakunya ke surga. ''Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makan, lakukan silaturahim, dan shalatlah malam ketika orang lain teridur, maka engkau akan masuk surga dengan selamat.'' (HR at-Tirmidzi).
Salam dapat diucapkan ketika bertemu dengan seseorang, baik yang sudah dikenal maupun belum selama dia Muslim. ''Apabila kamu bertemu dengan saudaramu, maka ucapkanlah salam, jika terhalang oleh pohon, tembok atau batu, maka ucapkan salam ketika menemuinya.'' (HR Muslim).
Salam juga diucapkan ketika memasuki rumah orang lain, begitu pula rumah sendiri. ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuk rumah orang lain, hingga kamu minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya.'' (QS An-Nur [24]: 21).
Ketika masuk dan keluar dari sebuah majelis. ''Apabila seorang masuk ke sebuah majelis, maka hendaknya mengucapkan salam. Dan jika dia mau pergi hendaklah mengucapkan salam, tidaklah (salam) yang pertama tadi lebih berhak (untuk diucapkan) daripada yang akhir.'' (HR Abu Daud). Apabila ada yang menitip salam, maka yang menerima mengucapkan, ''Wa'alaihissalam warahmatullahi wabarakatuh.''

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Rahasia Musibah


dakwatuna.com – Kata musibah seringkali diulang dalam Al Qur’an untuk makna peristiwa atau bencana yang menimpa. Dan Allah tegaskan bahwa itu terjadi karena izin-Nya. Ini menunjukkan bahwa di atas segala kekuatan ada kekuatan Allah. Bahwa manusia di alam ini hanya makhluk yang lemah, maka tidak pantas merasa diri berkuasa. Lalu bertindak seenak nafsunya. Tanpa memperhatikan rambu-rambu yang Allah turunkan. Lebih jauh, setiap musibah yang menimpa juga memperlihatkan bahwa alam ini di bawah kendali Allah. Sebab Dialah memang Pemiliknya. Maka tidak pantas manusia di muka bumi ini mengabaikan-Nya.

Namun kenyataan sejarah selalu dipenuhi contoh-contoh manusia yang membangkang. Manusia yang berani melawan Allah. Manusia yang merasa tidak butuh kepada tuntunan-Nya. Sehingga wahyu yang Allah turunkan dianggap tidak penting. Bahkan tidak sedikit manusia yang meragukan Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Akibatnya berbagai perilaku manusia semakin jauh dari apa yang Allah inginkan. Perzinaan di mana-mana dianggap biasa, padahal Allah melarangnya. Harta haram dibanggakan, padahal itu harta yang paling Allah benci. Kedzaliman di mana-mana terjadi, padahal Allah mengharamkan atas diri-Nya kedzaliman dan lain sebaginya.

Ini semua tentu dimurkai oleh Allah. Dan dalam Al-Qur’an, misalnya surah Al-Fajr, Allah menjelaskan bahwa turunnya adzab sebenarnya bukan semata fenomena alam – seperti yang banyak dipahami manusia modern – melainkan ada sebab yang diperbuat oleh manusia sendiri. Itulah kisah adzab yang menimpa kaum Aad, kaum Tsamud dan kaum Fir’un.

Dari sini kita belajar bahwa bencana tetap di luar kemampuan manusia, karena Allah langsung yang mengendalikannya. Dan manusia tidak punya pilihan –apapun upaya yang dilakukan – kecuali hanya tunduk dan patuh kapada Allah sepenuh hati dan semaksimal kemampuan. Jangan ulangi kembali dosa-dosa yang membuat Allah murka. Jauhi segala apa yang Allah haramkan. Ingat Allah mempunyai tujuan dan aturan. Maka sebagai makhluk, manusia harus tahu diri. Jangan menganggap dirinya sama dengan Allah. Lalu merasa independen dan menganggap dirinya bisa bertahan hidup tanpa Allah. Segeralah bertaubat, selamatkan kemanusiaan. Hindari mengagungkan kepentingan peribadi di atas kepentingan umum. Karena seringkalai kedzaliman terjadi karena nafsu mendahulukan kepentingan pribadi. Ingat bahwa semakin banyak kedzaliman pasti akan semakin banyak kerusakan di muka bumi. Dan semakin banyak kerusakan, kemaksiatan dan dosa-dosa pasti akan semakin mempercepat turunnya azab Allah swt.

Renungkan ayat berikut (dalam surah Al-Fajr 6-13) Allah menegaskan setelah menyebutkan tiga contoh kaum yang pernah maju dari segi peradaban dunia yaitu: kaum Aad, Tsamud dan Fir’un: Allah berfirman: “Alladziina thagahaw fil bilaad, faaktsaruu fiihal fasaad, fashaabba alaihim rabbuka sawtha adzaab (mereka telah berbuat kerusakan di negeri mereka, maka menyebarlah kerusakan di negeri tersebut, lalu Allah timpakan adzab yang pedih atas mereka).”

Memang tidak semua musibah minimpa orang-orang yang bejat. Ada juga contoh-contoh orang baik yang mendapatkan musibah. Berdasarkan ini tidak semua musibah yang menimpa harus kita pahami sebagai adzab. Setidaknya ada tiga makna di balik setiap musibah yang menimpa manusia: Pertama, bila itu menimpa sekelompok manusia yang semuanya kafir itu adalah adzab, seperti yang Allah timpakan atas kaum Adz, Tsamud dan Fir’un. Kedua, bila ia menimpa sekelompok manusia yang beriman, sebagiannya patuh sementara sebagian yang lain pendosa, itu adalah peringatan, agar tida dilanjutkan dosa-dosa tersebut. Ketiga, bila itu menimpa sekelompok kaum yang shaleh, itu ujian, untuk mencuci dosa-dosanya serta menaikkan derajatnya di dunia dan di surga. Karenanya Allah berfirman: “Wabasysyirish shaabiriin (dan berilah kabar gembira bagi mereka yang sabar).” Maksudnya bahwa sayarat untuk lolos dari setiap musibah adalah sabar: sabar mentaati Allah, sabar menjauhi kemaksiatan dan sabar menjalani ujian-Nya.

Semoga segala musibah yang menimpa kita semakin menguatkan hakikat kesabaran dalam jiwa. Dan membuat kita semakin dekat kepada Allah secara jujur kapan pun dan di mana pun kita berada, bukan sekedar ingat secara basa-basi di saat musibah menimpa. Ingat, Allah selalu melihat hakikat keimanan kita: “Innarabbaka labil mirshaad.” Wallahu a’lam bishshawab.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Shalat Khusyu’

dakwatuna.com - Jika semua ibadah disampaikan pewajibannya kepada Nabi melalui malaikat Jibril. Tidak demikian halnya dengan shalat, ibadah ini disampaikan secara langsung oleh Allah melalui peristiwa besar yang dialami seorang hamba, Isra’ dan Mi’raj. Shalat adalah ibadah paling utama dalam Islam. Bahkan ia adalah amal pertama yang akan ditanyakan Allah ketika seseorang masuk ke dalam kuburnya. Begitu penting shalat di antara amal ibadah ini maka seorang muslim diwajibkan mengerjakannya lima kali sehari semalam, di tambah lagi dengan shalat-shalat sunnah. Jika pada ibadah lain kewajibannya disyaratkan adanya istitha’ah (kemampuan) seperti haji dan zakat. Pada ibadah puasa, kalau seseorang tidak mampu melaksanakannya karena sakit atau uzur lainnya, ia boleh mengganti puasa di hari lain atau bahkan boleh menggantinya dengan fidyah jika benar-benar tidak mampu melakukannya, seperti jika seseorang sakit parah atau berusia lanjut. Maka dalam shalat uzur yang membuat uzur fisik yang menjadikan seseorang boleh meninggalkannya sampai ia bertemu dengan Allah.

Urgensi Khusyu’ dalam Shalat

1. Khusyu’ dalam shalat adalah cermin kekhusyu’an seseorang di luar shalat.

Khusyu’ dalam shalat adalah sebuah ketundukan hati dalam dzikir dan konsentrasi hati untuk taat, maka ia menentukan nata’ij (hasil-hasil) di luar shalat. Olerh karena itulah Allah memberi jaminan kebahagiaan bagi mu’min yang khusyu’ dalam shalatnya.

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang dalam shalatnya selalu khusyu’” (Al-Mu’minun:1-3).

Begitu juga iqamatush-shalah yang sebenarnya akan menjadi kendali diri sehingga jauh dari tindakan keji dan munkar. Allah berfirman,

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“Dan tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah tindakan keji dan munkar” (Al-Ankabut:45).

Sebaliknya, orang yang melaksanakan shalat sekedar untuk menanggalkan kewajiban dari dirinya dan tidak memperhatikan kualitas shalatnya, apalagi waktunya, maka Allah dan Rasul-Nya mengecam pelaksanaan shalat yang semacam itu. Allah berfirman,

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka celakalah orang-orang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya” (Al-Maun: 4-5)

Shalat yang tidak khusyu’ merupakan ciri shalatnya orang-orang munafik. Seperti yang Allah firmankan,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sessungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, padahal Allah (balas) menipu mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri malas-malasan, mereka memamerkan ibadahnya kepada banyak orang dan tidak mengingat Allah kecuali sangat sedikit” (An-Nisa’:142).

Rasulullah saw. bersabda,

تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا

“Itulah shalat orang munafiq, ia duduk-duduk menunggu matahari sampai ketika berada di antara dua tanduk syetan, ia berdiri kemudian mematok empat kali, ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (Diriwayatkan Al-Jama’ah kecuali Imam Bukhari).

2. Hilangnya kekhusyu’an adalah bencana bagi seorang mukmin.

Hilangnya kekhusyu’an dalam shalat adalah musibah (bencana) besar bagi seorang mukmin. Ini bisa memberi pengaruh buruk terhadap pelaksanaan agamanya, karena shalat adalah tiang penyangga tegaknya agama. Maka Rasulullah saw. berlindung kepada Allah, “Ya, Allah aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak puas, mata yang tidak menangis, dan do’a yang tidak diijabahi”

3. Khusyu’ adalah puncak mujahadah seorang mukmin

Khusyu’ adalah puncak mujahadah dalam beribadah, hanya dimiliki oleh mukmin yang selalu bersungguh-sungguh dalam muraqabatullah. Khusyu’ bersumber dari dalam hati yang memiliki iman kuat dan sehat. Maka khusyu’ tidak dapat dibuat-buat atau direkayasa oleh orang yang imannya lemah. Pernah ada seorang laki-laki berpura-pura shalat dengan khusyu’ di hadapan umar bin Khatthab ra. dan ia menegurnya, “Hai pemilik leher. Angkatlah lehermu! Khusyu; itu tidak berada di leher namun berada di hati.”

Ayat-ayat tentang khusyu’ dalam shalat:

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. (Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 45-46).

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya.” (Al-Mukminun: 1-2).

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah: 238).

Al-Mujahid berkata, “Di antara bentuk qunut adalah tunduk, khusyu’, menundukkan pandangan, dan merendah karena takut kepada Allah.

“Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Al-Insyirah: 7-8)

Al-Mujahid berkata, “Kalau kamu selesai dari urusan dunia segeralah malakukan shalat, jadikan niat dan keinginganmu hanya kepada Allah.”

Hadits-hadits dan atsar anjuran tentang shalat khusyu’

عَنْ أَنسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْْهِ وَسَلَّمَ ” َاْذُكُرِ الْمَوْتَ فِى صَلاَتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِى صَلاَتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلاَتَهُ وَصَلَّى صَلاَةَ رَجُلٍ لاَ يَظُنُّ أَنَّهُ يُصَلِّى صَلاَةً غَيْرَهَا وَإِيَّاكَ وَكُلُّ أَمْرٍ يُعْتَذَرُ مِنْهُ ” رواه الديلمي فى مسند الفردوس وحسنه الحافظ ابن حجر و تابعه الألباني

Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Ingatlah akan kematian dalam shalatmu karena jika seseorang mengingat kematian dalam shalatnya tentu lebih mungkin bisa memperbagus shalatnya dan shalatlah sebagaimana shalatnya seseorang yang mengira bahwa bisa shalat selain shalat itu. Hati-hatilah kamu dari apa yang membutmu meminta ampunan darinya.” (Diriwayatkan Ad-Dailami di Musnad Firdaus, Al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya hasan lalu diikuti Albani.

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عِظْنِي وَأَوْجِزْ فَقَالَ إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَاجْمَعْ الْإِيَاسَ مِمَّا فِي يَدَيْ النَّاسِ رواه أحمد وحسنه الألباني

Abu Ayyub Al-Anshari ra berkata, seseorang datang kepada Nabi saw. lalu berkata, “Nasihati aku dengan singkat.” Beliau bersabda, “Jika kamu hendak melaksanakan shalat, shalatnya seperti shalat terakhir dan janganlah mengatakan sesuatu yang membuatmu minta dimaafkan karenanya dan berputus asalah terhadap apa yang ada di angan manusia.” (Diriwayatkan Ahmad dan dinilai hasan oleh Albani).

عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِنْ الْبُكَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رواه أبو داود و الترمذي

Dari Mutharif dari ayahnya berkata, “Aku melihat Rasulullah saw shalat dan di dadanya ada suara gemuruh bagai gemuruhnya penggilingan akibat tangisan.” (Diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi).

عَنْ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ “مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْمُ فِى صَلاَتِهِ فَيَعْلَمُ مَا يَقُوْلُ إِلاَّ انْتَفَلَ وَهُوَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ رواه الحاكم وصححه الألباني

Utbah bin Amir meriyatkan dari Nabi yang bersabda, “Tidaklah seorang muslim berwudhu dan menyempurnakan wudhunya lalua melaksakan shalat dan mengetahuai apa yang dibacanya (dalam shalat) kecuali ia terbebas (dari dosa) seperti di hari ia dilahirkan ibunya.” (Diriwayatkan Al-Hakim dan dinilai shahih oleh Albani).

Khusyu’nya para Salafus Shalih

Abu Bakar

Imam Ahmad meriwatkan dari Mujahid bahwa Abdullah bin Zubair ketika shalat, seolah-olah ia sebatang kayu karena kyusyu’nya. Abu Bakar juga demikian.

Umar bin Khathab

Juga diriwayatkan ketika Umar melewati satu ayat (dalam shalat). Ia seolah tercekik oleh ayat itu dan diam di rumah hingga beberapa hari. Orang-orang menjenguknya karenanya mengiranya sedang sakit.

Utsman bin Affan

Muhammad bin Sirin meriwayatkan, istri Utsman berkata bahwa ketika Utsman terbunuh, malam itu ia menghidupkan seluruh malamnya dengan Al-Qur’an.

Ali bin Abi Thalib

Dan adalah Ali bin Abi Thalib, ketika waktu shalat tiba ia begitu terguncang dan wajahnya pucat. Ada yang bertanya, “Ada apa dengan dirimu wahai Amirul Mukminin?” ia menjawab, “Karena waktu amanah telah datang. Amanah yang disampaikan kepada langit, bumi, dan gunung, lalu mereka sanggup memikulnya dan aku sanggup.”

Zainal Abidin bin Ali bin Husain

Diriwayatkan pula ketika Zainal Abidin bin Ali bin Husain berwudhu, wajahnya berubah dan menjadi pucat. Dan ketika shalat, ia menjadi ketakutan. Ketika ditanya tentang hal itu ia menjawab, “Tahukan anda di hadapan siapa anda berdiri?”

Hatim Al-Asham

Seseorang melihat Hatim Al-Asham berdiri memberi nasihat kepada orang lain. Orang itu berkata, “Hatim, aku melihatmu memberi nasihat orang lain. Apakah kamu bisa shalat dengan baik?”

“Ya.”

“Bagaimana kamu shalat?”

“Aku berdiri karena perintah Allah.

Aku berjalan dengan tenang.

Aku masuk masjid dengan penuh wibawa.

Aku bertakbir dengan mangagungkan Allah.

Aku membaca ayat dengan tartil.

Aku duduk tasyahud dengan sempurna.

Aku mengucapkan salam karena sunnah dan memasrahkan shalatku kepada Rabbku.

Kemudian aku memelihara shalat di hari-hari sepanjang hidupku.

Aku kembali sambil mencaci diriku sendiri.

Aku takut kiranya shalatku tidak diterima.

Aku berharap kiranya shalatku diterima.

Jadi, aku berada di antara harap dan takut.

Aku berterima kasih kepada orang yang mengajarkanku dan mengajarkan kepada orang yang bertanya.

Dan aku memuji Tuhanku yang memberi hidayah kepadaku.

Muhammad bin Yusuf berkata,

“Orang seperti kamu ini berhak untuk memberi nasihat.”

Kecaman Bagi yang Meninggalkan Kekhusyukan

Sifat seorang mukmin adalah khusyu’ dalam shalat, sementara orang yang lalai dan tidak bisa khusyu’ dalam shalatnya seperti sifat orang-orang munafik.

Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, padahal Allah yang (membalas) menipu mereka. Apabila hendak shalat, mereka melaksanakannya dengan malas dan ingin dilihat manusia serta tidak berzikir kepada Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan Ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (An-Nisa’ : 142-143).

Inilah sifat orang-orang munafik dalam amal yang sangat mulia, shalat. Ini disebabkan pada diri mereka tidak ada niat, rasa takut, dan keimanan kepada Allah. Sifat lahiriyah mereka adalah malas dan sifat batiniyah lebih buruk lagi, agar dilihat oleh orang lain.

Seperti firman Allah yang lain,

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan Karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At-Taubah: 54).

Dalam kondisi apapun mereka tidak melakukan shalat selain bermalas-malasan. Karena tidak ada pahala yang mereka harapkan dan tidak ada yang mereka takutkan. Maka dengan shalat itu mereka hanya ingin menampakkan sebagai orang Islam dan demi kepentingan dunia semata.

Rasulullah pernah mengingatkan orang yang nampak tidak khusyu’ dalam shalatnya bahkan menyusuh orang itu untuk mengulanginya. Abu Hurairah meriwatkan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Bahwa Nabi masuk masjid kemudian masuk pula seseorang ke dalam masjid lalu ia shalat dan mengucapkan salam kepada beliau. Nabi saw menjawab salamnya dan bersabda, “Kembalilah dan shalatlah lagi, sebab kamu belu shalat.” Serta merta orang itu pun shalat lalu mengucapkan salam kepada Nabi saw dan beliau besabda, “Kembalilah dan shalatlah lagi, sebab kamu belu shalat,” tiga kali. Orang itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa lebih baik dari itu, maka ajarilah aku.” Beliau bersabda, “Apabila kamu hendak shalat beratkbirlah lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an (Al-Fatihah). Lalu ruku’lah sampai kamu benar-benar tenang dalam ruku’, kemudian angkatlah sampai tegak berdiri, lalu sujudlah sampai tenang dalam sujud, kemudian bangunlah sampai kamu tenang dalam duduk, kemudian sujudlah sampai kamu tenang dalam sujud. Lakukan hal itu dalam semua shalatmu.”

Abu Darda’ meriwatkan dari Nabi saw. yang bersabda,

أَوَّلُ شَيْئٍ يُرْفَعُ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ الْخُشُوْعُ حَتَّى لاَ تَرَى فِيْهَا خَاشِعًا

“Hal pertama yang diangkat dari ummat ini adalah khusyu’sampai-sampai kamu tidak menemukan seorang pun yang khusyu’.” (Thabrani dengan sanad baik dan dinilai shahih oleh Albani).

Thalq bin Ali Al-Hanafi ra berkata, Rasulullah saw bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ صَلاَة َعَبْدٍ لاَ يُقيْمُ فِيْهَا صُْلْبَهُ بَيْنَ ركُوْعِهَا وَ سُجُوْدِهَا

“Allah tidak akan melihat shalat seseorang hamba yang tidak tegak tulang sulbinya antara tuku’ dan sujudnya.” (Diriwayatkan Thabrani dan dishahihkan Albani).

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ الأَشْعَرِي أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله ِعَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَأى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَينْقِرُ فِى سُجُوْدِهِ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : “لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ” مَثَلُ الَّذِي لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَ يَنْقِرُ فِى سُجُوْدِهِ مَثلُ الْجَاِئع ، يَأكُلُ التَّمْرَ ةَ أَوِ التَّمْرَتَيْنِ لاَ يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا”

Abu Abdullah Al-Asy’ari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematok dalam sujudnya dalam shalatnya. Rasulullah saw bersabda, “Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti ini tentu ia mati di luar agama Muhammad saw.” Lalu beliau bersabda lagi, “Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematok dalam sujudnya bagai orang lapar lalu ia makan satu atau dua biji kurma namun tidak merasa kenyang sedikit pun.” (Diriwayatkan Thabrani di Al-Kabir, Abu Ya’la, dan Khuzaimah. Albani menilainya hasan).

Atsar tentang ancaman bagi mereka yang mengabaikan khusyu’ dalam shalat.

Umar bin Khatthab

Umar bin Khatthab ra pernah melihat seseorang yang mengangguk-anggukkan kepalanya dalam shalat lalu ia berkata, “Hai pemilik leher. Angkatlah lehermu! Khusyu; itu tidak berada di leher namun berada di hati.”

Ibnu Abbas

“Kamu tidak mendapatkan apa-apa dari shalatmu selain apa yang kamu mengerti darinya.”

“Dua rakaat sederhana yang penuh penghayatan lebih baik daripada qiyamul-lail namun hatinya lalai.”

Salman

“Shalat adalah takaran. Barangsiapa memenuhi takaran itu akan dipenuhi (pahalanya) dan barangsiapa curang ia akan kehilangan (pahalanya). Kalian telah tahu apa yang Allah katakan tentang orang-orang yang curang terhadap takaran.”

Hudzaifah

“Hati-hatilah kalian terhadap kekhusyu’an munafik.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dengan kekhusyu’an munafik itu?” Ia menjawab, “Yaitu orang yang kamu lihat jasadnya khusyu’ namun hatinya tidak khusyu’.”

Said bin Musayyib

Ia melihat seseorang yang main-main dalam shalatnya lalu berkata, “Kalau hati orang ini khusyu’ tentu raganya juga khusyu’.”

Ibul Qayyim

Lima tingkatan manusia dalam shalat:

Pertama: Tingkatan orang yang mendzalimi dan sia-sia. Orang yang selalu kurang dalam hal wudhu’nya, waktu-waktu shalatnya, batasan-batasannya, dan rukun-rukunnya.

Kedua: Orang yang memelihara waktu-waktunya, batasan-batasannya, rukun-rukun lahiriyahnya, dan wudhu’nya. Akan tetapi ia tidak bermujahadah terhadap bisikan-bisikan di saat shalat akhirnya ia larut dalam bisikan itu.

Ketiga: Orang yang memelihara waktu-waktunya, batasan-batasannya, rukun-rukun lahiriyahnya, dan wudhu’nya. Ia juga bermujahadah melawan bisikan-bisikan dalam shalatnya agar tidak kecolongan dengan shalatnya. Maka ia senantiasa dalam shalat dan dalam jihad.

Keempat: Orang yang ketika melaksanakan shalat ia tunaikan hak-haknya, rukun-rukunnya, dan batasan-batasannya. Haitnya tenggelam dalam upaya memelihara batasan-batasannya dan rukun-rukunnya agar tidak ada yang menyia-nyiakannya sedikitpun. Seluruh perhatiannya terpusat kepada upaya memenuhi sebagaimana mestinya, secara sempurna dan utuh. Hatinya benar-benar larut dalam urusan shalat dan penyembahann kepada Tuhannya.

Kelima: Orang yang menunaikan shalat seperti di atas (keempat) di samping itu ia telah meletakkan hatinya di haribaan Tuhannya. Dengan hatinya ia melihat Tuhannya, merasa diawasi-Nya, penuh dengan cinta dan mengagungkan-Nya. Seoalah-olah ia melihat da menyaksikan-Nya secara kasat mata. Seluruh bisikan itu menjadi kecil dan tidak berarti da ada hijad yang begitu tinggi antaranya dengan Tuhannya dalam shalatnya. Hijab yang lebih kuat daripada hijab antara langit dan bumi. Maka dalam shalatnya ia sibuk bersama Tuhannya yang telah menjadi penyejuk matanya.

Tingkatan pertama Mu’aqab (disiksa karena kelalaiannya), yang kedua Muhasab (dihisab), yang ketiga Mukaffar ‘Anhu (dihaspus kesalahannya), yang ketiga Mutsab (mendapatkan pahala), dan yang kelima Muqarrab min Rabbihi (yang didekatkan kepada Tuhannya) karena ia mendapatkan bagian dalam hal dijadikannya shalat sebagai penyejuk mata. Barangsiapa yang dijadikan kesenangannya pada shalatnya di dunia ia akan didekatkan kepada Tuhannya di akhirat dan di dunia ia diberi kesenangan. Lalu barangsiapa yang kesenangannya ada pada Allah dijadikan semua orang senang kepadanya dan barangsiapa yang kesenangannya bukan pada Allah ia akan mendapatkan kegelisahan di dunia.

Contoh Kekhusyu’an Salafus Shalih

Mujahid berkata, “Jika Ibnu Zubair shalat, ia seperti kayu.” Tsabit Al-Banani juga berkata, “Aku pernah melihat Ibnu Zubair sedang shalat di belakang Maqam, ia seperti kayu yang disandarkan, tidak bergerak sama sekali.”

Ma’mar, muazzinnya Salman At-Tamimi berkata, “Salman shalat Isya’ di sampingku lalu aku mendengarnya membaca Tabaraka al-ladzi bi yadihi al-Mulku, ketika sampai pada ayat ini, fa lamma raawhu zulfatan siiat wajuhul ladzina kafaru… Ia mengulang-ulang ayat tersebut samapai orang-orang yang berada di masjid ketakutan dan mereka pun bubar. Aku juga keluar meninggalkannya.”

Kiat-kiat Khusyu’ dalam Shalat

A. Mempersiapkan kondisi batin

1. Menghadirkan hati dalam shalat sejak mulai hingga akhir shalat.

2. Berusaha tafahhum (memahami) dan tadabbur (menghayati) ayat dan do’a yang dibacanya sehingga timbul respon positif secara langsung.

Ayat yang mengandung perintah: bertekad untuk melaksanakan.

Ayat yang mengandung larangan: bertekad untuk menjauhi.

Ayat yang mengandung ancaman: muncul rasa tajut dan berlindung kepada Allah.

Ayat yang mengandung kabar gembira: muncul harapan dan memohon kepada Allah.

Ayat yang mengandung pertanyaan: memberi jawaban yang tepat.

Ayat yang mengandung nasihat: mengambil pelajaran.

Ayat yang menjelaskan nikmat: bersyukur dan bertahmid

Ayat yang menjelaskan peristiwa bersejarah: mengambil ibrah dan pelajarannya.

3. Selalu mengingat Allah dan betapa sedikitnya kadar syukur kita.

4. Merasakan haibah (keagungan) Allah ketika berada di hadapan-Nya, terutama saat sujud. Rasulullah bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Dari Abu Huirairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sedekat-dekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah doa.” (Riwayat Muslim)

5. Menggabungkan rasa raja’ (harap) dan khauf (takut) dalam kehidupan sehari-hari.

6. Merasakan haya’ (malu) kepada Allah dengan sebenar-benar haya’.

Rasulullah bersabda,

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Rasa malu tidak akan mendatangkan selain kebaikan” (Muttafaq ‘alaih).

Dan para ulama berkata, “Hakikat haya’ adalah satu akhlak yang bangkit untuk meninggalkan tindakan yang buruk dan mencegah munculnya taqshir (penyia-nyiaan) hak orang lain dan hak Allah.”

B. Mempersiapkan kondisi lahiriyah:

1. Menjauhi yang haram dan maksiat lalu banyak bertaubah kepada Allah.

2. Memperhatikan dan menunggu waktu-waktu shalat.

Rasulullah saw. bersabda,

لَا يَزَالُ الْعَبْدُ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَ فِي الْمَسْجِدِ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ مَا لَمْ يُحْدِثْ

“Seorang hamba senantiasa dalam keadaan shalat selama ia berada di dalam masjid menunggu (waktu) shalat selama tidak batal.” (Bukhari Muslim).

3. Berwudlu’ sebelum datangnya waktu shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الصَّلَاةِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلَاةِ وَإِنَّهُ يُكْتَبُ لَهُ بِإِحْدَى خُطْوَتَيْهِ حَسَنَةٌ وَيُمْحَى عَنْهُ بِالْأُخْرَى سَيِّئَةٌ فَإِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ الْإِقَامَةَ فَلَا يَسْعَ فَإِنَّ أَعْظَمَكُمْ أَجْرًا أَبْعَدُكُمْ دَارًا قَالُوا لِمَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ مِنْ أَجْلِ كَثْرَةِ الْخُطَا

“Barangsiapa berwudhu dengan baik kemudian keluar untuk tujuan shalat. Maka orang itu berada dalam shalat selama ia bertujuan menuju shalat. Setiap satu langkahnya ditulis kebaikan dan langkah lainnya dihapus kesalahan.” (Riwayat Imam Malik).

4. Berjalan ke masjid dengan tenang sambil membaca do’a dan dzikirnya.

إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَلاَ تَأْتُوْهَا وَأنْتُمْ تَسْعَوْنَ فَمَا أدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

“Jika kalian berangkat shalat hendaklah dengan tenang janganlah kalian berangkat shalat tergesa-gesa, jika kalian mendapatinya shalatlah dan jika ketinggalan maka sempurnakan.” (Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

5. Menempatkan diri pada shaf depan.

6. Melakukan shalat sunnah sebelum shalat wajib sebagai pemanasan.

7. Shalat dengan menjaga sunnahnya dan menghindari makruhnya.

Allahu a’lam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Tidak Ada Waktu Istirahat untuk Tubuh Letih Rasulullah

dakwatuna.com - Madinah dikepung tentara gabungan kabilah-kabilah Arab. Kabilah Quraisy beraliansi dengan kabilah Ghathfan, kabilah Asad, kabilah Asyja’, kabilah Salim, dan kabilah Murrah. Pasukan sekutu (Ahzab) ini ingin memukul kekuatan kaum muslimin Madinah dengan satu serangan yang menghancurkan untuk selama-lamanya.

Pada tanggal 8 Dzulqa’idah 5 Hijriah atau sekitar April 627 Masehi, tentara Ahzab itu mendekati Kota Madinah. Gerakan mereka terhenti karena di celah antara dua gunung yang menjadi pintu masuk Madinah telah menganga parit pertahanan yang tidak bisa dilompati kuda-kuda mereka.

Perang pun berubah menjadi perang adu daya tahan. Pasukan aliansi musyrikin Arab mengepung Madinah. Tentara Rasulullah saw., kaum muslimin, bertahan di belakang garis parit (Khandaq) yang mereka bangun. Lima belas hari lamanya perang daya tahan ini berlangsung. Sepuluh ribu tentara musyrikin Arab menunggu-nunggu kelengahan tiga ribu tentara muslimin di balik parit pertahanan mereka. Mereka secara berkala menggempur titik-titik pertahanan yang terlihat lemah.

Parit. Ini teknik perang gaya baru bagi dunia Arab saat itu. Salman Al-Farisi yang mengusulkan teknik perang bertahan itu. Tapi, membangun parit pertahanan yang lebar, panjang, dan dalam bukan perkara mudah. Berat. Melelahkan. Apalagi waktunya pendek. Harus sudah selesai sebelum pasukan musuh tiba.

Rasulullah saw. memimpin langsung penggalian parit itu. Seluruh penduduk Madinah dikerahkan. Rasulullah saw. membangun parit di sebelah Utara kota Madinah di antara dua pegunungan batu yang membentengi Madinah hampir di segala sisi, kecuali di bagian Tenggara kota. Rasulullah saw. sengaja tidak menggali parit di bagian ini. Itu pintu masuk Yahudi Bani Quraizhah ke kota Madinah.

Rasulullah saw. memang telah memperkirakan Bani Quraizhah suatu saat akan berkhianat. Namun Rasulullah saw. tetap berprasangka baik dan berpegang teguh pada Piagam Madinah yang ikut disepakati Bani Quraizhah. Dalam piagam itu, pihak-pihak yang membuat perjanjian sepakat untuk bahu-membahu mempertahankan kota Madinah dari serangan luar. Namun kemudian yang terjadi sebaliknya. Di perang ini Bani Quraizhah berkhianat.

Duh, sungguh berat sekali perang yang harus dihadapi Rasulullah saw. kali ini. Musuh ada di dua front. Tenaga dan pikiran Rasulullah saw. pasti terkuras habis. Al-Waqidi menggambarkan betapa lelahnya Rasulullah saw. Ia mendapat sanad yang berujung kepada Abu Waqid Al-Laitsi, seorang sahabat yang ikut dalam Perang Khandaq.

Abu Waqid Al-Laitsi bercerita, “Pada hari itu, kaum muslimin berjumlah tiga ribu orang. Aku melihat Rasulullah saw. sekali-kali menggali tanah dengan menggunakan cangkul, ikut menggali tanah dengan menggunakan sekop, serta ikut memikul keranjang yang diisi tanah. Suatu siang, sungguh aku melihat beliau dalam keadaan sangat lelah. Beliau lalu duduk dan menyandarkan bagian rusuk kirinya pada sebuah batu, kemudian tertidur. Aku melihat Abu Bakar dan Umar berdiri di belakang kepalanya menghadap orang-orang yang lewat agar mereka tidak mengganggu beliau yang sedang tidur. Pada waktu itu aku dekat pada beliau. Beliau kaget dan bangun terperanjat dari tidurnya, lalu berkata, ‘Mengapa kalian tidak membangunkan aku?’ Kemudian beliau mengambil kapak yang akan beliau gunakan untuk mencangkul, lalu beliau berdoa, ‘Ya Allah, ya Tuhanku, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat. Maka, muliakanlah kaum Anshar dan wanita yang hijrah.’”

Tampaknya perang memang tidak mengizinkan Rasulullah saw. beristirahat. Ummu Salamah, istri Rasulullah, yang ikut berkemah di Markas Komando di Gunung Salah’, nama gunung di sebelah Utara Madinah, bercerita, “Demi Allah, aku berada di tengah kelamnya malam di kemah Rasulullah saw. Beliau sedang tidur sampai aku mendengar suara yang mengejutkan. Aku mendengar orang berteriak, ‘Yaa khailallah (wahai pasukan kuda Allah)! Rasulullah saw. menjadikan sebutan itu sebagai syiar panggilan Muhajirin: Ya kahilallah! Rasulullah saw. pun kaget mendengar suara orang itu, kemudian beliau keluar dari kemahnya.

Tiba-tiba ada sekelompok orang berjaga di depan kemah beliau. Salah seorang di antara mereka itu adalah Abbad bin Basyar. Beliau bertanya, ‘Ada apa dengan orang-orang?’ Abbad menjawab, ‘Ya Rasulullah, itu suara Umar bin Khaththab, malam ini gilirannya berseru, Ya khailallah.’ Orang-orang berkumpul kepadanya mengarah pada sebuah tempat di Madinah bernama Hunaikah di antara Dzahhab dan Masjid Al-Fath. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada Abbad bin Basyar, ‘Pergilah ke sana dan lihat, kemudian kembali lagi kepadaku, insya Allah, dan ceritakan keadaan yang terjadi di sana!’”

Ummu Salamah berkata, “Aku berdiri di dekat pintu kemah mendengarkan semua yang mereka bicarakan. Rasulullah saw. terus berdiri hingga Abbad bin Basyar datang, lalu ia berkata, ‘Ya Rasulullah, itu Amar bin Abd di kuda kaum musyrikin, ikut bersamanya Mas’ud bin Rujanah bin Raits bin Ghathfan di kuda Ghathfan, dan kaum muslimin melemparnya dengan lembing dan batu.’”

Ummu Salamah kemudian berkata, “Lalu Rasulullah saw. masuk ke dalam kemah dan memakai baju perangnya, kemudian beliau menunggang kuda perangnya diikuti para sahabatnya hingga sampai di tempat peperangan. Tidak lama setelah itu, beliau datang dalam keadaan gembira dan berkata, ‘Allah telah memalingkan mereka dan mereka banyak yang cidera.’”

Ummu Salamah berkata, “Setelah itu beliau tidur hingga aku mendengarkan suara dengkurannya. Aku mendengar pula suara lain yang mengejutkan, maka beliau terperanjat kaget dan memanggil dengan suara keras, ‘Ya Abbad bin Basyar!’ Abbad menjawab, ‘Labbaik (aku menyambut seruanmu)! Beliau berkata, ‘Lihat apa itu!’ Abbad bin Basyar pun langsung pergi, kemudian kembali dan berkata, ‘Itu Dharar bin Al-Khaththab ikut dalam pasukan berkuda kaum musyrikin dan ikut bersamanya Uyainah bin Hishn pada pasukan berkuda Ghathfan di Gunung Bani Ubaid. Kaum muslimin melempari mereka dengan batu dan lembing.’ Maka Rasulullah saw. berdiri memakai baju perangnya dan menunggang kudanya, kemudian berangkat dengan para sahabatnya menuju tempat peperangan tersebut. Beliau tidak kembali kepada kami hinggga menjelang waktu subuh. Setelah datang beliau berkata, ‘Mereka kembali dalam keadaan kalah dan banyak di antara mereka yang cidera.’ Kemudian beliau shalat subuh dengan para sahabatnya.

Ummu Salamah juga berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah saw. menyaksikan peperangan yang di dalamnya banyak yang terbunuh dan menakutkan, yaitu Al-Muraisi’ dan Khaibar. Kami pun pernah ikut dalam peperangan Hudaibiyah. Dalam peperangan Fathu Mekkah dan Hunain, tidak ada yang lebih melelahkan bagi Rasulullah saw. dan tidak pula yang lebih menakutkan bagi kami daripada peperangan Khandaq, karena pada waktu itu kaum muslimin menghadapi semacam kesulitan dan Bani Quraizhah tidak bisa kami amankan terhadap Adz-Dzraari. Madinah dijaga hingga pagi. Takbir kaum muslimin terdengar hingga pagi karena gentingnya dan mereka tidak memperoleh keberuntungan apa pun. Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan dan Allah-lah yang mengirimkan angin dan malaikat kepada mereka. Sesungguhnya, Allah Mahakuat dan Maha Perkasa.”

Duh, sungguh peperangan di Perang Khandaq menguras tenaga Rasulullah saw. Ummul Mukminin Aisyah berkata, “Sesungguhnya aku melihat Sa’ad bin Abi Waqqash di suatu malam, sedang kami berada di Khandaq, menyaksikan . Dan aku masih benar-benar menyukai tempat itu.”

Aisyah berkata, “Rasulullah saw. selalu pergi menjaga lubang di Khandaq sehingga apabila beliau kedinginan, beliau datang kepadaku. Lalu aku hangatkan dalam pelukanku. Apabila beliau telah hangat, beliau keluar lagi menjaga lubang itu. Beliau berkata, ‘Aku tidak khawatir terhadap kedatangan orang-orang (musuh), tetapi aku khawatir mereka datang sementara aku tidak berada di lubang itu.’ Setelah Rasulullah saw. berada dalam pelukanku dan telah hangat, beliua berkata, ‘Andainya ada orang yang saleh menjagaku.’”

Aisyah berkata, “Hingga aku mendengar suara sejata dan bunyi gesekan pedang.” Lalu Rasulullah saw. berkata, “Siapa itu?” “Sa’ad bin Abi Waqqash.” Beliau berkata, “Jagalah lubang itu.” Aisyah berkata, “Rasulullah saw. lalu tertidur hingga aku mendengar dengkurannya.”

Hari demi hari berlalu. Pengepungan masih berlanjut. Angin dingin bertiup kencang. Medan perang semakin berat. Apalagi untuk pria paruh baya seperti Rasulullah saw. Dalam usia 57 tahun, tubuh Rasulullah saw. harus selalu siap siaga berjaga dan siap berperang setiap waktu. Beliau selalu bergerak cepat dari satu titik pertahanan ke titik pertahanan lain yang mendapat gempuran musuh. Serangan itu terjadi kapan pun tak kenal waktu. Siang dan malam. Rasulullah saw. hampir-hampir tidak bisa tidur selama peperangan berkecamuk. Rasulullah saw. adalah manusia biasa. Tubuhnya lelah. Kelelahan yang tiada tara. Tidak ada waktu istirahat untuk Rasulullah saw. Tidak ada.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Musibah dan Taubat Berjama'ah

dakwatuna.com - Gempa 7,6 SR. menggunjang Sumatera Barat, pada Rabu 30 September 2009 sore hari. Sampai tulisan ini diturunkan lebih dari 200 jiwa meninggal dunia. Belum selesai rasa belasungkawa bangsa Indonesia dengan kejadian itu, gempa kembali menggunjang Jambi dan Bengkulu dengan kekuatan yang hampir sama, 7,0 SR. Semua warga yang mengalami musibah tersebut histeris, bingung, bahkan pingsan tak sadarkan diri.

Kejadian serupa juga belum lama lewat dari perasaan dan ingatan kita, gempa dengan kekuatan 7,5 SR. mengguncang Jawa Barat. Dari semua kejadian itu, kerugian materiil tidak terhitung jumlahnya, sangat besar sekali. Pemerintah pun akhirnya mengeluarkan anggaran untuk bencana dari APBN yang tidak sedikit.

Jika musibah itu menjauh dari kita, tentu anggaran bencana itu bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang lain, hajat primer masyarakat yang masih sulit ekonominya, untuk membayar hutang dan tentu untuk membangun kembali Indonesia.

Bagaimana musibah itu bisa menjauh dari kita? Atau, agar kita menjadi negeri yang aman, damai dan terhindar dari bencana, apa yang perlu kita lakukan?

Semua jenis musibah yang terjadi adalah akibat kesombongan, kesalahan, dosa, dan kemaksiatan yang dilakukan manusia, bahkan karena perilaku manusia yang tidak menghiraukan aturan Tuhan.

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash menceritakan ketika turun surat Al-Zilzal (gempa), Abu Bakar sedang duduk terpaku kemudian menangis. Rasulullah saw. bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Abu Bakar? Ia menjawab: “Surat ini membuatku menangis” maka Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya kalian tidak melakukan kesalahan dan tidak berdosa, dan Allah mengampuni kesalahan kalian, pasti Allah akan menciptakan umat lain yang bersalah dan berdosa, mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” Ibnu Jarir

Abdullah bin Mas’ud berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Hati-hati perilaku meremehkan dosa dan kesalahan, karena ketika dosa dan kesalahan berhimpun pada diri seseorang, dosa dan kesalahan itu akan menghancurkannya.” Imam Ahmad

Siapapun kita, apakah politisi, penyelenggara negara, wakil rakyat “yang hari ini, 1 Oktober 2009 akan dilantik”, pegiat media massa, artis, public figur, ulama, atau siapapun kita, hendaknya merenung dengan penuh kerendahan diri, bahwa ada “Kekuatan” yang Maha Dahsyat yang bisa berkehendak untuk menjadikan bumi, laut, gunung dan makhluk lain-Nya menunjukkan “ketidak senangannya terhadap manusia”, hanya dengan berfirman: “Kun Fayakun. Gempa, maka terjadilah gempa yang dahsyat.”

Ya, kesombongan, kesalahan, dosa, kemaksiatan yang dilakukan manusia, bahkan perilaku manusia yang tidak menghiraukan aturan Tuhan, menghalalkan segala cara menjadi penyebab terjadinya suatu bencana.

Kejadian hebat itu menjadi pengingat dan nasehat secara langsung bagi siapa saja yang masih punya hati nurani dan iman di dada. Ada Dzat yang Maha Kuasa yang memberi peringatan kepada setiap manusia yang boleh jadi kembali pada “habitatnya” setelah satu bulan Ramadhan mendekat pada Tuhan.

Taubat dan kembali kepada Allah swt. harus segera dilakukan oleh seluruh komponen anak bangsa ini, agar alam sekitar bersababat, bahkan memberikan manfaat dan kesejahterahan bagi umat manusia. Allahu a’lam

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments